Adakata.id, Bontang – Pola asuh yang otoriter dan tekanan lingkungan yang makin kompleks ditengarai menjadi pemicu meningkatnya gangguan mental di kalangan remaja Kota Bontang. Fenomena ini menjadi perhatian serius kalangan medis, termasuk tim psikiatri di RSUD Taman Husada Bontang.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUD Taman Husada Bontang, dr. Dewi Maharni, M.Sc, Sp.KJ, menyatakan bahwa faktor internal keluarga dan sosial seperti tekanan akademik, perundungan, dan konflik rumah tangga sangat memengaruhi kestabilan psikologis remaja.
“Banyak anak tumbuh dalam pola asuh yang keras, jarang diajak bicara, dan diminta sempurna dalam segala hal. Ini sangat membebani mereka secara mental,” ungkapnya, belum lama ini.
Ia menekankan bahwa tanda-tanda gangguan mental pada remaja bisa terlihat dari perubahan perilaku yang signifikan, seperti menjadi pendiam, mudah marah, atau kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasa mereka sukai.
“Ketika anak yang aktif tiba-tiba sering menyendiri, tidak semangat sekolah, atau menghindari interaksi sosial, itu perlu diwaspadai,” jelasnya.
Menurutnya, remaja yang hidup dalam lingkungan penuh tekanan, baik di rumah maupun sekolah, cenderung mengalami kecemasan, stres, dan bahkan depresi. Jika tidak ditangani sejak dini, kondisi ini bisa memengaruhi prestasi akademik dan kualitas hidup mereka ke depan.
Tak hanya itu, dr. Dewi juga mencatat bahwa perilaku impulsif seperti kabur dari rumah, melukai diri sendiri, atau melawan orang tua juga kerap muncul sebagai bentuk pelampiasan emosi yang tak tersalurkan.
“Banyak yang akhirnya mencari pelarian ke hal negatif karena merasa tidak ada tempat aman untuk bercerita,” tambahnya.
Ia menyoroti pentingnya peran orang tua dalam menciptakan suasana emosional yang aman di rumah. Komunikasi yang hangat dan tidak menghakimi sangat diperlukan agar anak merasa didengar dan dihargai. “Orang tua jangan cuma menuntut, tapi juga harus siap jadi pendengar yang empatik,” katanya.
Bila gejala gangguan mental sudah muncul, intervensi medis harus segera dilakukan. dr. Dewi menyarankan agar keluarga tidak menunda berkonsultasi ke psikiater. Penanganan yang diberikan bisa berupa psikoterapi, terapi perilaku kognitif, hingga pemberian obat jika dibutuhkan.
“Psikoterapi mengajarkan anak menghadapi tekanan hidup dengan sehat, tidak mudah putus asa, dan bisa menyelesaikan konflik secara bijak,” paparnya.
Ia berharap kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental terus meningkat. Menurutnya, pencegahan jauh lebih baik dibanding mengobati, dan perhatian keluarga adalah benteng utama agar remaja tidak terjebak dalam krisis psikologis.
“Remaja butuh lebih dari sekadar disiplin. Mereka butuh kasih sayang, validasi, dan tempat aman untuk tumbuh,” tutupnya. (adv/rsudtamanhusadabontang)
Penulis: Irha
Editor: Sunniva Caia